Kegagalan Misi Kemanusiaan di Suriah dan Reformasi Dewan Keamanan

Home » » Kegagalan Misi Kemanusiaan di Suriah dan Reformasi Dewan Keamanan

* Mad Nashid

Dalam setting cerita dongeng, negara-negara adi kuasa mempersonifikasikan dirinya sebagai sekelompok serigala yang menyamar sebagai nenek dari gadis kecil yang berkerudung merah.

Penyamaran tersebut terlihat dalam Konperensi Tingkat Tinggi PBB tentang pengungsi dan migran bulan lalu ketika komunitas internasional itu mengobral kata-kata kosong kepada jutaan rakyat Suriah yang binasa karena perang.

Mereka bahkan menyatakan komitmen mereka untuk menyelesaikan krisis kemanusian terbesar dalam sejarah modern, dengan mulai yang berkilau karena semangatnya.

Meskipun komitmen mereka ini menjadi langkah maju kecil, karena mereka hanya membantu para pengungsi. Gambar besarnya sendiri tidak pernah tersentuh dan masih tetap sama: bahwa negara-negara adi kuasa lebih banyak berperan dalam mengobarkan konflik terburuk dalam abad ini ketimbang menyelesaiakan masalahnya. Kematian dan pengusiran jutaan rakyat sipil tidak mereda sama sekali.

Menyiramkan Api
 
Konflik Suriah menggambarkan kegagalan dunia untuk melindungi rakyat sipil dan menyelesaikan masalah-masalah yang menyebabkan migrasi massal. Kekerasan negara dan kebangkitan ekstrimisme yang belum pernah terjadi sebelumnya telah menyebabkan krisis kemanusiaan terbesar sejak Perang Dunia (PD) II. AS dan Rusia, dua anggota permanen Dewan Keamanan PBB harus bertanggung jawab atas tragedi tersebut. AS mengajak Rusia untuk membahas gencatan senjata, namun upaya ini tidak membawa hasil sama sekali.  Di bawah dalih memerangi terorisme, Rusia dan sekutunya ikut campur urusan dalam negeri Suriah dalam rangka mempertahankan kekuasaan rejim Bashar Assad. Mereka melakukan pembantaian rakyat sipil yang tidak berdosa dan mengancam keselamatan ribuan rakyat lainnya, manuver yang terang-terangan melanggar hukum internasional.

Pekan lalu, Rusia dan rejim Assad menjatuhkan setidaknya 1700 bom di Aleppo timur dan menewaskan 338 warga sipil. Konflik ini telah membunuh tidak kurang 400 ribu rakyat dan mencabut setengah dari 27 juta warganya sebelum perang hanya dalam waktu lima tahun.

AS patut juga disalahkan dalam tragedi ini. AS tidak hanya gagal melindungi warga sipil, namun mereka beraliansi dengan Rusia untuk memerangi kelompok ekstrimis IS. Kebangkitan dan kebrutalan IS adalah konsekuensi ketimbang sebagai sumber konflik. Itulah mengapa kebijakan konter terorisme dipastikan gagal, jika upaya tersebut tidak dalam ranka melindungi penduduk sipil dari semua aktor perang.

Semakin Tidak Tertangani, Semakin Besar Gelombang Pengungsi

Pada saat bersamaan, AS terus melanjutkan dukungan koalisi pimpinan Saudi di Yaman yang juga menewaskan ribuan warga sipil. 3 juta rakyat Yaman telah lari  dari kampung halamannya dengan sedikit harapan untuk kembali. 70 persen tenaga kerja berhenti dan ditaksir sekitar setengah juta rakyat berebut untuk mendapatkan bantuan makan.

Inggris, sebagai anggota permanen lainnya di Dewan Keamanan PBB juga menyuplai senjata dan penasehat militer ke Arab Saudi, yang menginvasi Yaman untuk menarget para pemberontak Houthi Maret lalu, Komisioner HAM PBB mengatakan bahwa semua pihak di Yaman telah melakukan pelanggaran HAM, termasuk Saudi yang juga menarget penduduk sipil.

Dan kemudian, ada isu Palestina. Sejak rakyat Palestina pertama kalinya diusir dari kampung halaman mereka selama pendirian negara Israel, mereka mengalami 68 tahun hidup tanpa negara, menambah krisis panjang pengungsi yang tak terselesaikan hingga sekarang.

Ada beberapa konflik besar yang mengancam keamanan di bagian selatan dunia. Dikatakan bahwa komunitas internasional harus memahami bahwa krisis pengungsi hanya akan semakin memburuk jika konflik berlarut-larut ini jika dibiarkan tidak diselesaikan. Maka apa yang harus dilakukan?

Pertama, anggota Dewan Keamanan PBB harus menghormati hukum internasional dan bertanggung jawab atas setiap pelanggaran mereka. Ini berarti ada mobilisasi aksi -termasuk embargo senjata jika dibutuhkan -untuk menekan semua aktor yang terlibat konflik mematuhi standar internasional.

Ini juga berarti siap untuk mengadili para penjahat perang dimana aksi kolektif diambil untuk menghadapi pelbagai pihak yang terang-terangan melanggar resolusi PBB. Ini yang seharusnya dikerjakan PBB, namun sistem ini sendiri secara fungsi sudah tidak demokratis.

Maka tidak heran jika para anggota permanen Dewan Kemanan PBB lebih suka menggunakan kedudukannya tersebut untuk kepentingan mempertahankan monopoli mereka atas urusan dunia.

Reformasi PBB

Artikel 24 Piagam PBB menyatakan bahwa semua anggota Dewan Kemanan PBB bertugas mengawasi keamanan dan perdamaian. Jika catatan jumlah pengungsi sebagai indikasi, maka dapat disimpulkan Dewan Keamanan tidak melakukan tugasnya dengan baik.

Alasan mengapa Dewan Keamanan PBB mandul sederhana: Lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB -AS, Rusia, China, Inggris dan Perancis- semuanya memiliki hak veto, sehingga memungkinkan masing-masing menggagalkan setiap usulan resolusi meskipun tidak manuver tersebut tidak populer sekalipun.

Tujuan asli veto adalah untuk menjadikan negara-negara pendiri PBB melindungi diri mereka dari plot atau permusuhan pihak lain. Namun dalam kenyataannya, veto menjadi alat untuk menjaga hegemoni mereka di dunia.

Dukungan Rusia dan China kepada rejim Bashar Assad dan dukungan AS kepada Israel adalah dua contoh kasus ini. China dan Rusia memveto 4 resolusi tentang Suriah, sementara, pada saat bersamaan rejim berdarah ini terus membomi warga sipil dan mengepung mereka.

AS juga tidak lebih baik. Negara ini menggunakan lusinan vetonya untuk melindungi kejahatan Israel, sehingga leluasa memperluas permukiman ilegal dan melakukan serangan kejinya terhadap Gaza tanpa pembelaan.

Penggunaan veto untuk melindungi kepentingan nasional sendiri bukan hal baru, namun inilah kerusakan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Kini, ada lebih 65,3 juta pengungsi di dunia. Anggota tetap Dewan Keamanan hanya bermain kata-kata, sementara tetap mendukung para pelaku kejahatan di dunia.

Sidang Umum PBB harus diberdayakan. Jika Sidang Umum PBB diperbolehkan membuat keputusannnya sendiri, setelah krisis berkepanjangan, maka badan ini dapat memfasilirasi dan mengakhiri konfik dengan cara yang lebih demokratis.

Namun, seperti yang terjadi, arena internasional sekarang ini seperti cerita dalam novel fabel George Orwell, Animal Farm. Semua binatang sederajat, namun ada beberapa binatang lebih sederajat ketimbang lainnya. Dan dalam struktur PBB ini, para serigalalah yang tengah berkuasa.

*Kontributor middleeasteye.net

.
Bagikan Artikel Ini :